16 November, 2011

Thalasemia

A. Pengertian

Thalasemia adalah sekelompok penyakit keturunan yang merupakan akibat dari
ketidakseimbangan pembuatan salah satu dari keempat rantai asam amino yang membentuk
hemoglobin (medicastore, 2004).
Sindrom thalasemia adalah sekelompok penyakit atau keadaan herediter dimana produksi satu
atau lebih dari satu jenis rantai polipeptida terganggu (Kosasih, 2001).
Thalasemia merupakan penyakit anemia hemolitik herediter yang diturunkan secara resesif,
menurut hukum mendel. Pada tahun 1925, diagnosa penyakit ini pertama kali diumumkan oleh
Thomas Cooley (Cooley’anemia) yang di dapat diantara keluarga keturunan italia yang
bermukim di USA. Kata thalassemia berasal dari bahasa yunani yang berarti laut.
B. Penyebab
Ketidakseimbangan dalam rantai protein globin alfa dan beta, yang diperlukan dalam
pembentukan hemoglobin, disebabkan oleh sebuah gen cacat yang diturunkan secara resesif
dari kedua orang tua.Thalasemia termasuk dalam anemia hemolitik, dimana umur eritrosit
menjadi lebih pendek (normal 100-120 hari). Umur eritrosit ada yang 6 minggu, 8 minggu
bahkan pada kasus yang berat umur eritosit bisa hanya 3 minggu.Pada talasemia, letak salah
satu asam amino rantai polipeptida berbeda urutannya atau ditukar dengan jenis asam amino
lainnya.
C. Klasifikasi

1. Talasemia alfa (gangguan pembentukan rantai alfa)
2. Talasemia beta ( gangguan pembentukan rantai beta)
3. Talasemia beta-delta (gangguan pembentukan rantai beta dan delta)
4. Talasemia delta (gangguan pembentukan rantai delta).
Secara kinis, talasemia dibagi dalam 2 golongan, yaitu:
1. Talasemia mayor (bentuk homozigot), memiliki 2 gen cacat, memberikan gejala klinis               
     yang jelas.
2. Talasemia minor, dimana seseorang memiliki 1 gen cacat dan biasanya tidak memberikan
    gejala klinis.
D. Patofisiologi
 Mengenai dasar kelainan pada thalasemia berlaku secara umum yaitu kelainan thalasemia alfa
disebabkan oleh delesi gen (terhapus karenakecelakaan gen) yang mengatur produksi tetramer
globin, sedangkan pada thalasemia beta karena adanya mutasi gen tersebut.
Pada thalasemia beta produksi rantai beta terganggu, mengakibatkan kadar Hb menurun
sedangkan produksi HbA2 dan atau HbF tidak terganggun karena tidak memerlukan rantai beta
justru memproduksi lebih banyak dari pada keadaan normal sebagai usaha kompensasi.
Kelebihan rantai globin yang tidak terpakai karena tidak ada pasangannya akan mengendap
pada dinding eritrosit dan menyebabkan eritropoesis tidak efektif dan eritrosit memberi
gambaran anemia hipokrom dan mikrositer.
Eritropoesis dalam sumsum tulang sangat gesit, dapat mencapai 5 kali lipat dari nilai normal.
Destruksi eritrosit dan prekursornya dalam sumsum tulang adalah luas dan masa hidup eritrosit
memendek serta didapat pula tanda-tanda anemia hemolitik ringan.
Thalasemia dan hemoglobinopati adalah contoh khas untuk penyakit/kelainan yang bedasarkan
defek/kelainan hanya satu gen.
E. Manifestasi Klinik
Semua thalasemia memiliki gejala yang mirip tetapi beratnya bervariasi. Sebagian besar
mengalami anemia ringan.
Pada talasemia mayor, terjadi anemia berat tipe mikrositik dengan pembesaran pada hati dan
limpa. Muka mongoloid, pertumbuhan badan kurang sempurna (pendek), perubahan pada
tulang karena hiperaktifitas sumsum merah berupa deformitas dan fraktur spontan (terutama
tulang panjang). Dapat pula mengakibatkan pertumbuhan berlebihan tulang frontal, zigomatik
dan maksilaris. Pertumbuhan gigi biasanya buruk. IQ kurang baik apabila tidak mendapat
tranfusi darah secara teratur dan menaikan kadar Hb. Anemia biasanya mulai muncul pada usia
3 bulan dan jelas pada usia 2 tahun.
Gejala lain pada penderita thalassemia adalah jantung mudah berdebar-debar. Hal ini karena
tugas hemoglobin membawa oksigen ke seluruhtubuh. Pada thalassemia, karena oksigen yang
dibawa hemoglobin kurang, maka jantung juga akan berusaha bekerja lebih keras, sehingga
jantung penderita akan mudah berdebar-debar. Lama kelamaan, jantung akan bekerja lebih
keras, sehingga cepat lelah. Akibatnya terjadi lemah jantung. "Limpa penderita juga bisa
menjadi besar, karena penghancuran darah merah terjadi di sana." Selain itu, sumsum tulang
juga bekerja lebih keras, karena berusaha mengkompensir kekurangan hemoglobin. Akibatnya,
tulang menjadi tipis dan rapuh. Jika kerusakan tulang terjadi pada tulang muka, misalnya, pada
tulang hidung, maka bentuk muka pun akan berubah. Batang hidung menjadi hilang/melesak ke
dalam (facies cooley). Ini merupakan salah satu tanda khas penderita thalassemia.

Thalasemia minor umumnya tidak dijumpai gejala klinis yang khas, ditandai oleh anemia
mikrositin, bentuk heterozigot tetapi tanpa anemia atau anemia ringan.

F. Prognosis
Thalasemia beta homozigot umumnya meninggal pada usia muda dan jarang mencapai usia
dekade ke-3, walaupun digunakan antibiotik untuk mencegah infeksi dan pemberian chelating
agent untuk mengurangi hemosiderosis (harga mahal). Di negara maju dengan fasilitas tranfusi
yang cukup dan perawatan dengan chelating agents yang baik, usia dapat mencapai dekade
ke-5 dan kualitas hidup yang lebih baik.

Jika dikemudian hari transplantasi sumsum tulang dapat diterapkan maka prognosisnya akan
menjadi lebih baik.

G. Komplikasi
Pada talasemia minor, memiliki gejala ringan dan hanya menjadi pembawa sifat. Sedangkan
pada thalasemia mayor, tidak dapat membentuk hemoglobin yang cukup sehingga harus
mendapatkan tranfusi darah seumur hidup. Ironisnya, transfusi darah pun bukan tanpa risiko.
Risikonya terjadi pemindahan penyakit dari darah donor ke penerima, misalnya, penyakit
Hepatitis B, Hepatitis C, atau HIV. Reaksi transfusi juga bisa membuat penderita menggigil dan
panas.Yang lebih berbahaya, karena memerlukan transfusi darah seumur hidup, maka anak bisa
menderita kelebihan zat besi karena transfusi yang terus menerus tadi. Akibatnya, terjadi
deposit zat besi. Karena jumlahnya yang berlebih, maka zat besi ini akhirnya ditempatkan di
mana-mana.Misalnya, di kulit yang mengakibatkan kulit penderita menjadi hitam. Deposit zat
besi juga bisa merembet ke jantung, hati, ginjal, paru, dan alat kelamin sekunder, sehingga
terjadi gangguan fungsi organ. Misalnya, tak bisa menstruasi pada anak perempuan karena
ovariumnya terganggu. Jika mengenai kelenjar ginjal, maka anak akan menderita diabetes atau
kencing manis. Tumpukan zat besi juga bisa terjadi di lever yang bisa mengakibatkan kematian.
"Jadi, ironisnya, penderita diselamatkan oleh darah tetapi dibunuh oleh darah juga.
Komplikasi
Akibat anemia yang berat dan lama, sering terjadi gagal jantung. Transfusi darah yang
berulang-ulang dari proses hemolisis menyebabkan kadar besi dalam darah tinggi, sehingga
tertimbun dalam berbagai jaringan tubuh seperti hepar, limpa, kulit, jantung dan lain-lain. Hal ini
dapat mengakibatkan gangguan fungsi alat tersebut (hemokromotosis). Limpa yang besar
mudah ruptur akibat trauma yang ringan, kematian terutama disebabkan oleh infeksi dan gagal
jantung.
H. Penatalaksanaan
a) Transfusi darah berupa sel darah merah (SDM) sampai kadar Hb 11 g/dl. Jumlah SDM yang
     diberikan sebaiknya 10 – 20 ml/kg BB. Pemberian tranfusi darah berupa sel darah merah
     diberikan jika kadar Hb telah rendah (kurang dari 6 g%) atau bila anak mengeluh tidak mau
     makan dan lemah sampai kadar Hb sekitar 11 g/dl. Kadar setinggi ini akan mengurangi
     kegiatan hemopoesis yang berlebihan dalam sumsum tulang dan juga mengurangi absorsi Fe
     dari traktus digestivus. Sebaiknya darah tranfusi tersimpan kurang dari 7 hari dan mengandung
     leukosit serendah-rendahnya.
b) Asam folat teratur (misalnya 5 mg perhari), jika diet buruk
c) Pemberian cheleting agents (desferal) untuk mengeluarkan besi dari jaringan tubuh secara
    intramuskular atau intravena secara teratur membentuk mengurangi hemosiderosis. Obat
    diberikan secara intravena atau subkutan, dengan bantuan pompa kecil, 2 g dengan setiap unit
    darah transfusi.
d) Vitamin C, 200 mg setiap, meningkatan ekskresi besi dihasilkan oleh Desferioksamin.
e) Splenektomi mungkin dibutuhkan untuk menurunkan kebutuhan darah. Splenektomi
    dilakukan pada anak yang lebih tua dari 2 tahun, sebelum di dapatkan tanda hiperplenisme
    atau hemosiderosis. Sesudah splenektomi, biasanya frekuensi tranfusi menjadi berkurang.
    Pemberian multi vitamin tetapi kontra indikasi terhadap preparat besi.
f) Terapi endokrin diberikan baik sebagai pengganti ataupun untuk merangsang hipofise jika
    pubertas terlambat.
g) Pada sedikit kasus transplantsi sumsum tulang telah dilaksanakan pada umur 1 atau 2 tahun
    dari saudara kandung dengan HlA cocok (HlA – Matched Sibling). Pada saat ini keberhasilan
    hanya mencapai 30% kasus. (Soeparman, dkk 1996 dan Hoffbrand, 1996)

I. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan laboratorium
    Pemeriksaan laboratorium untuk skrining dan diagnosis thalasemia meliputi:
1. Hematologi Rutin: untuk mengetahui kadar Hb dan ukuran sel-sel darah
2. Gambaran darah tepi : untuk melihat bentuk, warna dan kematangan sel-sel darah.
3. Feritin, SI dan TIBC : Untuk melihat status besi
4. Analisis Hemoglobin : untuk diaknosis dan menentukan jenis thalassemia.
5. Analisis DNA : untuk diaknosis prenatal (pada janin) dan penelitian.

target; jumlah retikulosit meningkat serta adanya sel seri eritrosit muda (normoblas). Hb rendah,
resistensi osmotik patologis. Nilai eritrosit rata-rata (MC), volume eritrosit rata-rata (VER/MCV),
hemoglobin eritrosit rata-rata (HER/MCH) dan konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata
(KHER/MCMC) menurun. Jumlah leukosit normal atau meningkat. Kadar besi dalam serum
normal atau meningkat. Kadar bilirubin dalam serum meningkat. SGOT dan SGPT dapat
meningkat karena kerusakan parenkim hati oleh hemosiderosis.

Pada thalasemia minor:
Kadar Hb bervariasi. Gambaran darah tepi dapat menyerupai thalasemia mayor atau hanya
sebagian. Nilai VER dan HER biasanya menurun, sedangkan KHER biasanya normal.
Resistensi osmotik meningkat.
Pemeriksaan lebih maju adalah analisa DNA, DNA probing, gene blotting dan pemeriksaan
PCR (polymerase Chain Reaction).

b. Pemeriksaan radiologis
Gambaran radiologis tulang akan memperlihatkan medula yang labor, korteks tipis dan
trabekula kasar. Tulang tengkorak memperlihatkan “hair-on-end” yang disebabkan perluasan
sumsum tulang ke dalam tulang korteks. Gambaran radiologis tulang akan memperlihatkan
medula yang lebar, korteks tipis dan trabekula kasar. Tulang tengkorak memperlihatkan diploe
dan pada anak besar kadang-kdang terlihat brush appearance (menyerupai rambut berdiri
potongan pendek). Fraktur kompresi vertebra dapat terjadi. Tulang iga melebar terutama pada
bagian artikulasi dengan processus transversus.

J. Pencegahan
a) Pencegahan primer :
Penyuluhan sebelum perkawinan (marriage counselling) untuk mencegah perkawinan diantara
pasien Thalasemia agar tidak mendapatkan keturunan yang homozigot. Perkawinan antara 2
hetarozigot (carrier) menghasilkan keturunan : 25 % Thalasemia (homozigot), 50 % carrier
(heterozigot) dan 25 normal.
b) Pencegahan sekunder
Pencegahan kelahiran bagi homozigot dari pasangan suami istri dengan Thalasemia

heterozigot salah satu jalan keluar adalah inseminasi buatan dengan sperma berasal dari donor
yang bebas dan Thalasemia troit. Kelahiran kasus homozigot terhindari, tetapi 50 % dari anak
yang lahir adalah carrier, sedangkan 50% lainnya normal.
Diagnosis prenatal melalui pemeriksaan DNA cairan amnion merupakan suatu kemajuan dan
digunakan untuk mendiagnosis kasus homozigot intra-uterin sehingga dapat dipertimbangkan
tindakan abortus provokotus (Soeparman dkk, 1996).
DAFTAR PUSTAKA
1. Price, Sylvia A & Lorraine M Wilson. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
    Buku 1. Edisi 4. Jakarta: EGC.
2. Smeltzer, Suzanne C. & Bare, Brenda G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah
    Brunner & Suddarth. Edisi 8. Volume 2. Jakarta: EGC.
3.Guyton, Arthur C, (2000), Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, edisi 9, EGC, Jakarta.

15 November, 2011

Anemia Aplastik

BATASAN
Anemia aplastik adalah suatu kelainan yang ditandai oleh pansitopenia pada darah tepi dan penurunan selularitas sumsum tulang.

PATOFISIOLOGI

1. Defek sel induk hematopoetik
2. Defek lingkungan mikro sumsum tulang
3. Proses imunologi
Kurang lebih 70% penderita anemia aplastik mempunyai penyebab yang tidak jelas, dinamakan idiopatik. Defek sel induk yang didapat (acquired) diduga disebabkan oleh obat-obat: busulfan, kloramfenikol, asetaminofen, klorpromazina, benzenebenzol, metildopa, penisilin, streptomisin, sulfonamid dan lain-lain.
Pengaruh obat-obat pada sumsum tulang diduga sebagai berikut :
· Penekanan bergantung dosis obat, reversible dan dapat diduga sebelumnya (obat-obat anti tumor)
· Penekanan bergantung dosis, reversible, tetapi tidak dapat diduga sebelumnya.
· Penekanan tidak bergantung dosis obat (idiosinkrasi)
Microenvironment :
Kelainan microenvironmet memegang peranan terjadinya anemia aplastik. Akibat radiasi, pemakaian kemoterapi yang lama atau dosis tinggi, dapat menyebabkan microarchitecture mengalami sembab yang fibrinus dan infiltrasi sel. Faktor humoral misalnya eritropoitin, ternyata tidak mengalami penurunan.
Cell Inhibitors :
Pada beberapa penderita anemia aplastik, dapat dibuktikan adanya T-limfosit yang menghambat pertumbuhan sel-sel sumsum tulang pada biakan.
GEJALA KLINIS
Gejala-gejala timbul sebagai akibat dari :
· Anemia : pucat, lemah, mudah lelah, dan berdebar-debar.
· Leukopenia ataupun granulositopenia : infeksi bakteri, virus, jamur, dan kuman patogen lain.
· Trombositopenia : perdarahan seperti petekia, ekimosa, epistaksis, perdarahan gusi dan lain-lain.
Hepatosplenomegali dan limfadenopati tidak lazim ditemukan pada anemia aplastik.
PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS
Kriteria anemia aplastik yang berat
Darah tepi :
Granulosit < 500/mm3
Trombosit < 20.000/mm3
Retikulosit < 1,0%
Sumsum tulang :
Hiposeluler < 25%

DIAGNOSIS BANDING

· Leukemia akut
· Sindroma Fanconi : anemia aplastik konstitusional dengan anomali kongenital.
· Anemia Ekstren-Damashek : anemia aplastik konstitusional tanpa anomali kongenital
· Anemia aplastik konstitusional tipe II
· Diskeratosis kongenital

PENATALAKSANAAN

· Hindari infeksi eksogen maupun endogen, seperti :
Pemeriksaan rektal
Pengukuran suhu rektal
Tindakan dokter gigi
Pada tindakan-tindakan di atas, resiko infeksi bakteri meningkat
· Simtomatik
ü Anemia : transfusi sel darah merah padat (PRC)
ü Perdarahan profus atau trombosit < 10.000/mm3 : transfusi trombosit (tiap unit/10 kgBB dapat meningkatkan jumlah trombosit ± 50.000/mm3)
Transfusi trombosit untuk profilaksis tidak dianjurkan.
ü Transfusi leukosit (PMN)
Efek samping : panas badan, takipnea, hipoksia, sembab paru (karena timbul anti PMN leukoaglutinin)
· Kortikosteroid
Prednison 2 mg/kgBB/24 jam, untuk mengurangi fragilitas pembuluh kapiler, diberikan selama 4-6 minggu.
· Steroid anabolik
ü Nandrolon dekanoat : 1-2 mg/kg/minggu IM (diberikan selama 8 -12 minggu)
ü Oksimetolon : 3-5 mg/kg/hari per oral
ü Testosteron enantat : 4-7 mg/kg/minggu IM
ü Testosteron propionat : ½ -2 mg/kg/hari sublingual
Efek samping :
ü Virilisme, hirsutisme, akne hebat, perubahan suara (revesibel sebagian bila obat dihentikan).
ü Pemberian jangka panjang dapat menimbulkan adenoma karsinoma hati, kolestasis.
ü Hepatotoksik pada pemberian sublingual
· Transplantasi sumsum tulang :
Transplantasi sumsum tulang merupakan pilihan utama bagi anak-anak dan dewasa muda dengan anemia aplastik berat. Hindari transfusi darah yang berasal dari donor keluarga sendiri pada calon transplantasi sumsum tulang.

KOMPLIKASI

· Anemia dan akibat-akibatnya (karena pembentukannya berkurang)
· Infeksi
· Perdarahan

PROGNOSIS

· Anemia aplastik ± 80% meninggal (karena perdarahan atas infeksi). Separuhnya meninggal dalam waktu 3-4 bulan setelah diagnosis.
· Anemia aplastik ringan ± 50% sembuh sempurna atau parsial. Kematian terjadi dalam waktu yang lama.

DAFTAR PUSTAKA

1. Epstein FH. The Pathophysiology of Acquired Anemia Aplastic. N Eng. J. Med 1997, 336 : 1365-1372.
2. Young NS. Bone Marrow Aplasia : The Pathophysiology of Acquired Aplastic Anemia. Education Programme of The 26th Congress of The International Society of Hematology, Singapore:
ISH, 1996.
3. Young NS, Alter BP. Aplastic anemia : Acquired and Inherited. Philadelphia : WB Saunders,1994.
4. Young NS. Pathogenesis and Pathophysiology of Aplastic Anemia Dalam. Hoffman R, Benz EJ, Shattil SJ dkk. Penyunting. Hematology : Basic Principles and Practice, edisi ke-2. NewYork
: Churchill Livingstone, 1995 : 299-325.